Mereka lahir dari dua organisasi Islam kalangan muda waktu itu yang berperan membina sikap dan keyakinan mereka sebagai muslim pejuang yang dididik di Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studentent Islam Studie Club (SIS), perkumpulan mahasiswa untuk studi Islam.
JIB didirikan pertengahan tahun 1920-an, sedangkan SIS didirikan pada tahun 1930-an. H. Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem dan Kasman Singodimedjo adalah tokoh-tokoh di JIB, sementara Jusuf Wibisono dan Prawoto Mangkusasmito adalah tokoh-tokoh di SIS. Sekalipun Jusuf Wibisono pernah di JIB dan Kasman pernah di SIS.
Kedua organisasi ini dapat menghambat gagasan sekularisasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Hindia Belanda melalui Snouck Hugronje karena mereka mempelajari Islam secara kritis sehingga basis keislaman mereka di JIB disamping sebagai pejuang kemerdekaan dapat terbangun dengan baik. Di JIB H. Agus Salim adalah merupakan tokoh pembangun karakter sehingga selain Mohammad Natsir, Mr. Mohammad Roem adalah anak kesayangan H. Agus Salim. | |
Pada waktu perundingan Linggar Jati 14 Oktober 1946 yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir, beliau diikutkan sebagai anggota perunding, walaupun beliau merasa belum berpengalaman, tetapi oleh H. Agus Salim beliau didorong untuk ikut karena mengetahui potensi yang dimiliki. Ternyata beliau dengan gigih memperjuangkan pasal-pasal yang dianggap merugikan Republik. Komisi Jendral Belanda Prof. Schemerchorn, selaku Ketua di pihak Belanda melihat susunan delegasi Indonesia adalah suatu delegasi yang kuat. Beliau melihat Mohammad Roem sebagai seorang perunding yang bersemangat dan tidak mudah untuk dipatahkan sampai sidang beberapa kali harus ditangguhkan.
Serangan Mohammad Roem terhadap pasal-pasal yang merugikan Republik Indonesia menyebabkan Belanda mengancam akan menghentikan perundingan, karena kesal dengan Mohammad Roem. Perundingan yang alot tersebut akhirnya ditandatangani juga pada tanggal 25 Maret 1947.
Pihak Belanda menyatakan Prof. Schemerchorn, ketua delegasi Belanda dianggap tidak mampu menguntungkan Belanda. Kecewa dengan perundingan tersebut pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan aksi militer, melanggar perjanjian Linggar Jati dan hampir seluruh wilayah Republik mereka kuasai. Serangan ini dipimpin oleh Jendral Van Mook dan mereka berdalih bahwa ini adalah tindakan aksi ”polisionil”. Akhirnya atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendengar pelanggaran dilakukan oleh Belanda, meminta Indonesia kembali ke meja perundingan, dan Sutan Sjahrir diberi kesempatan menyampaikan pidato di PBB.
Diangkatnya masalah Indonesia dan Belanda oleh PBB adalah hasil dari sebuah diplomasi yang dilakukan oleh Mohammad Roem dan kawan-kawan.
Konflik Indonesia Belanda menjadi isu internasional. Dibentuklah komisi tiga negara (KTN) dimana Indonesia menunjuk Australia sebagai penengah dan Belanda menunjuk Belgia sebagai penengah ditambah dengan Amerika Serikat sebagai ketua perunding. Diatas geladak kapal Renville yang berlabuh di Tanjung Priok 8 Desember 1947 yang disebut dengan perundingan Renville. Perundingan ini oleh pihak Indonesia dan tokoh-tokoh lainnya dianggap lemah bahkan partai Masjumi sendiri dimana Mohammad Roem sebagai tokohnya menolak isi perjanjian tersebut. Perunding Indonesia dianggap menerima tekanan-tekanan Belanda sehingga kabinet yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin terpaksa menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno tanggal 23 Januari 1948.
Kemudian perundingan dilanjutkan di Hotel Des Indesch di Jalan Gajah Mada, sekarang dikenal dengan Perkantoran Duta Merlin, Harmoni, Jakarta Pusat 7 Mei 1949 yang disebut dengan perundingan Roem Royen. Perundingan ini merupakan karya puncak Mohammad Roem didalam diplomasi. Dokumen Roem Royen merupakan dokumen bersejarah bagi kelanjutan tegaknya Negara Republik Indonesia. Dokumen ini merupakan pengakuan Belanda terhadap eksistensi NKRI, sehingga Belanda menghentikan aksi militernya, membebaskan tahanan politik. Pada giliran berikutnya pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag tanggal 24 Juli 1949 sampai 2 November 1949 Belanda harus menyerahkan kekuasaan kepada Indonesia dan membebaskan Soekarno dan Hatta dari tahanan politik
Kembalinya Soekarno Hatta ke Yogyakarta dari pengasingan di Pulau Bangka tidak akan terjadi kalau tidak ada perjanjian Roem Royen. Dari perjanjian Roem Royen itulah muncul Konferensi Meja Bundar untuk memulihkan hak-hak kemerdekaan Republik Indonesia.
Mohammad Roem lahir didesa Klewabon Kewedanaan Parakan Kabupaten Temanggung Jawa Tengah tanggal 16 Mei 1908. Ayahnya bernama Dulkarnain Djoyosasmito, seorang lurah di desa Klewabon, Ibunya bernama Siti Tarbiah. Mohammad Roem adalah anak keenam dari tujuh bersaudara. Orang tua beliau sekalipun tidak memiliki pendidikan agama yang kuat tetapi sangat keras terhadap anaknya, terutama dalam soal sholat.
Pendidikan agama diberikan langsung oleh seorang guru ngaji yang didatangkan kerumah. Kakak-kakak beliau yang lain bernama Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, nama khulafaur rasyidin, sementara yang perempuan bernama Muti’ah dan Siti Khadijah. Di Temanggung ia masuk HIS (Holland Inlansch School) dan selanjutnya sampai ke Stovia di Jakarta, selesai tahun 1930. Pada waktu kongres JIB I tahun 1929 di Surabaya, beliau sudah ikut terlibat dan berkenalan dengan seorang pandu wanita dari JIB yang bernama Markisah Dahlia, seorang gadis yang kemudian menjadi istrinya.
Pada tahun 1930 dilaksanakan Kongres JIB di Jakarta dimana Mohammad Roem terpilih sebagai Ketua Panitia. Disinilah beliau banyak bersentuhan dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti H. Agus Salim, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Sjafruddin Prawiranegara, dan tokoh-tokoh lainnya. Mohammad Roem wafat di Jakarta pada tanggal 24 September 1983. (Drs. H. AmlirSyaifa Yasin, MA/Sekretaris Umum Dewan Da’wah)
http://www.dewandakwah.com/content/view/518/30/
|
0 Komentar untuk "Mohammad Roem, Pejuang Perunding"