Kedu,
hari Kamis titimongso 5 bulan Haji tahun Be ( 31 Juli 1825 ), Pangeran
Diponegoro mengirimkan surat perintah kepada rakyat Kedu yang berbunyi:
“Inilah
soerat dari saja Kangdjeng Goesti Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkoeboemi
di Ngajogjakarta kepada semua teman saja di Kedoe
Memberitahoekan
bahwa negari Kedoe sekarang telah saja minta Semoea
orang, ja’ni semoea orang lelaki, perempoean, besar dan ketjil haroeslah
mengetahoeinja
Adapoen
orang jang telah mengetahoei surat oendangan saja ini hendaknja dengan segera
menjediakan sendjata agar dapat mereboet negari dan membetoelkan agama Rosoel
serta mereboet toedjoeh iman
Djika
ada jang berani dan tidak maoe mempertjajai boenji soerat saja ini, pasti saja
potong lehernja”
Surat
tersebut ditanggapi seluruh rakyat Kedu, hanya dua bulan setelah itu meletuslah
peperangan besar di daerah kedu, hal itu disebutkan dalam surat Jenderal De
Kock ( 28 September 1825 ) kepada Residen Kedu Loe Clereg, yang menyatakan
bahwa dalam peperangan itu Pos Selatan Karesidenan Kedu, Kalijengking pada pagi
hari diserbu pasukan jumlah besar, dan menewaskan Letnan Hilmer.
Kyai Surodipo anak buah Raden Tumenggung Mertowiryo dari desa
Bendan, distrik Purbalingga, Kedu Selatan ikut ambil bagian dalam peperangan
itu. Kyai Surodipo menempati Pos di distrik Jetis dan ditugaskan ikut membantu
Pasukan Diponegoro untuk melawan Belanda di Parakan pada masa Bupati
Raden Sumodilogo ( Bupati Menoreh yang berkedudukan di Parakan ).
Sampai
akhirnya Raden Sumodilogo tewas dibunuh oleh Demangnya sendiri yang bernama
Setjapati, seperti disebut dalam autobiografi Pangeran Diponegoro yang
berbunyi:
“....ing
Kedoe wonte satoenggal - Raden Soemodilogo – ing Parakan nagrenipoen- ingkang
tan sedijo goeripo “ , “ Mapan ladjeng ing nginggahan saking Ledhok Gowong Ika
– Mas Toemenggoeng Ondoroko – ing Gowong Gadjah Premodo “. “ Ingkang dadijo
pangridnjo - Mas Ronggo Prawirojoedo – ing Parakan sampoen prapto – noeljo
pinethuk ing judho “ . “ Soemodilogo koetjiwo – mengokono sampoen palestro –
ingkang medjahi poenika – pademangiro prijonggo “. “ Satjapati namaniro
– woes bedhah Parakan ika - .... “
Parakanpun
bedah, pasukan Belanda hancur oleh perlawanan Pasukan Diponegoro bersama
tewasnya Raden Sumodilogo. Maka Belanda menggunakan taktik lain yaitu dengan
perang candu untuk melemahkan kekuatan generasi muda. Menangkap gelagat tidak
baik ini Kyai Surodipo membawa prajuritnya menjauh dari pengaruh candu, dan
membuat pos pertahanan di punggung Gunung Sindoro, dengan pertimbangan dari
tempat tinggi tersebut dapat dengan mudah melihat pergerakan Belanda yang ada
di bawahnya.
Namun
suatu hari mata-mata Belanda mengetahui tempat persembunyian Kyai Surodipo dan
prajuritnya, maka Belanda dengan pasukan yang besar berangkat ke
Gunung Sindoro untuk menyergapnya.
Alkisah,
Kyai Surodipo memiliki peliharaan burung Jalak yang selalu ikut bendaranya
kemanapun pergi, burung itu sangat jinak dan pomah ( dapat pulang sendiri
kepada bendaranya meskipun dibiarkan terbang bebas ). Suatu siang burung Jalak
tersebut pulang dari pengembaraannya mengitari lereng Gunung Sindoro, di tangan
Kyai Surodipo burung itu mengoceh menirukan kata-kata orang Belanda, Kyai
Surodipo segera tanggap, bahwa burung itu habis bertemu dengan orang Belanda.
Maka
Kyai Surodipo segera mengajak para prajuritnya, untuk meninggalkan Pos
Pertahanannya, dengan kesaktiannya ( Aji Panglimunan ) Kyai Surodipo membawa
prajuritnya untuk bersembunyi dengan menembus Batu Kelir yang berada tak jauh
dari Pos Pertahanan.
Firasat
Kyai Surodipo ternyata benar, tidak berapa lama Pasukan Belanda datang, namun
mendapati Pos Pertahanan itu telah kosong, maka dengan marahnya Belanda
membakar Pos tersebut, lalu pergi dengan tangan hampa.
Setelah
dirasa cukup aman, Kyai Surodipo keluar dari persembuyian di Batu
Kelir, ketika kembali Posnya ternyata hangus terbakar dan telah rata dengan
tanah, segala perbekalan dan bahan panganpun musnah tak tersisa.
Merasa
Pos Pertahanannya di punggung Sindoro itu telah diketahui musuh dan tidak aman
lagi, maka Kyai Surodipo membawa prajuritnya menyusuri lereng Sindoro ke arah
utara, dan membangun Pos Pertahanan baru di dekat air terjun, dimana mereka
dengan mudah mendapatkan air untuk keperluan hidupnya, tepatnya di
desa Trocoh di bawah Gunung Prahu, air terjun tersebut sekarang dinamakan Curug
Surodipo.
Akhirnya
Pos yang berada di punggung Sindoro itu ditinggalkan dalam keadaan kosong dan
gosong, seiring dengan perkembangan jaman daerah tersebut disebut POSONG,
artinya Pos yang telah Gosong dibakar dan telah Kosong ditinggalkan, entah mana
yang benar Pos-Gosong atau Pos-Kosong, namun yang jelas akronim dari keduanya
sama-sama Posong.
Ilustrasi
Dari atas ke bawah: Penyergapan Pos Pertahanan Diponegoro oleh Belanda - Profil Prajurit Diponegoro - R. Adipati Holand Soemodilogo - Pertempuran Diponegoro di daerah Kedu.
Informasi:
Kini Posong telah dijadikan oleh Pemkab Temanggung sebagai Tempat Wisata andalan, Posong menyajikan fenomena keindahan alam, dari Posong anda dapat menikmati hamparan panorama menakjubkan, cakrawala ufuk timur berlatar belakang sembilan gunung, dan gugusan pegunungan kecil yang mengitarinya. Pemandangan Posong lebih indah dinikmati saat Sunrise, tatkala matahari terbit memerah di ufuk timur.
Dari atas ke bawah: Penyergapan Pos Pertahanan Diponegoro oleh Belanda - Profil Prajurit Diponegoro - R. Adipati Holand Soemodilogo - Pertempuran Diponegoro di daerah Kedu.
Informasi:
Kini Posong telah dijadikan oleh Pemkab Temanggung sebagai Tempat Wisata andalan, Posong menyajikan fenomena keindahan alam, dari Posong anda dapat menikmati hamparan panorama menakjubkan, cakrawala ufuk timur berlatar belakang sembilan gunung, dan gugusan pegunungan kecil yang mengitarinya. Pemandangan Posong lebih indah dinikmati saat Sunrise, tatkala matahari terbit memerah di ufuk timur.
0 Komentar untuk "Legenda Posong dan Sejarah Pangeran Diponegoro"